Seorang rekan
yang mengaku mengalami berbagai keajaiban bercerita banyak pada saya. Bagaimana
keluarganya menganggap bahwa do'a yg dia panjatkan pasti diterima Allah. Bagaimana
isterinya, penganut salah satu tarekat, jika berdo'a sudah bisa merasakan
apakah do'a ini terkabul atau tidak.
Rekan lain juga
bercerita bagaimana dia mengalami keajaiban. Ketika dia berdo'a agar termasuk
mereka yang berhati emas, tiba-tiba dia melihat langit berwarna keemasan dan
tetesen emas itu bagaikan jatuh ke bumi.
Entahlah, apakah pengalaman rekan-rekan saya tersebut benar-benar
terjadi atau tidak. Saya hanya khawatir dua hal:
1.
Kita berubah menjadi riya' ketika kita menceritakan hal-hal itu. Saya khawatir
kita justru tidak mendapati keajaiban lagi ketika hati kita telah tergelincir
pada riya'.
2.
Kita beribadah karena mengejar keajaiban; bukan semata-mata karena Allah. Kita
baca wirid sekian ribu kali, dengan harapan bisa menghasilkan keajaiban, apakah
tubuh yg kebal, terungkapnya hijab (kasyaf) dan lainnya. Kita jalani sholat
sunnah ratusan rakaat juga demi mengejar "keanehan-keanehan". Kita
jalani ritus-ritus itu hanya karena ingin mencapai ma'rifat (yang sayangnya
dikelirukan sebagai memiliki keajaiban).
Yang lebih
celaka lagi, ketika kita mendapat keajaiban tiba-tiba kita mengklaim bahwa Tuhan
sangat dekat dengan kita sehingga status kita naik menjadi wali. Sayang,
setelah "merasa" menjadi wali, kita lupakan aspek syari'ah. Konon,
bagi mereka yang mencapai aspoek ma'rifat tidak perlu lagi menjalankan aspek
syari'at.
Entahlah, saya
yang merasa belum naik-naik maqamnya dari status awam hanya bisa merujuk kisah
Nabi Zakariya dan Siti Maryam. Nabi Zakariya diberi anugerah putera, padahal
dia sudah tua dan isterinya mandul. Setelah mendapat keajaiban ini, Allah
memerintahkan pada-Nya, "Sebutlah nama Tuhan-mu sebanyak-banyaknya serta
bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari" (Qs 3: 41) Maryam pun mendapat
keajaiban berupa putera (padahal dia tidak pernah "disentuh" lelaki).
Namun setelah Allah memberitahu tingginya kedudukan Maryam, Allah menyuruh Maryam,
"Ta'atlah kepada Tuhan-mu, sujud dan ruku'lah bersama orang-orang yang
ruku' (Qs 3: 43)
Ternyata, hamba
Allah seperti Nabi Zakariya dan Siti Maryam pun tetap tidak meninggalkan aspek
syari'at meskipun telah memiliki keajaiban.
Berkenaan dengan keajaiban, Abu Sa'id, sufi besar abad 10
dan 11 Hijriah, pernah bertemu orang yang menceritakan sejumlah keajaiban
"wali".
Orang itu berkata, "dia bisa terbang… "
Abu Sa'id menjawab, "ah… tak aneh… burung saja bisa
terbang"
Yang aneh justru adalah mereka yang mengaku-aku wali dan
sufi sambil mendemonstrasikan "keajaibannya". Wali dan Sufi sejati
tak butuh pengakuan orang lain akan ke-waliannya. Wali dan sufi sejati tak akan
pernah meninggalkan aspek syari'at, meski telah mencapai maqam ma'rifat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar