"Sesungguhnya
seseorang telah bertanya kepada Rasulullah S.A.W , apakah iman itu. Beliau
menjawab, 'Apabila kebaikanmu menggembirakanmu dan keburukanmu menyusahkanmu,
maka engkau dalam keadaan mukmin.' Dia bertanya lagi, 'Ya Rasulullah, lalu
apakah dosa itu?' Beliau menjawab, 'Apabila sesuatu terbersit dalam hatimu,
maka tinggalkanlah ia.'" (HR.Thabrani, Ahmad, dan Nasa'i).
Rasulullah
adalah guru dan pendidik ummatnya. Pertanyaan dari siapapun pasti dijawab dengan
sungguh-sungguh. Hebatnya, setiap jawabannya selalu pas dengan keinginan si
penanya.
Pada hadits di atas Rasulullah memberikan jawaban yang
aplikatif sekali. Iman yang merupakan pekerjaan hati diungkapkan Rasulullah
dengan sederhana sekali, yaitu bila suatu kebaikan menjadikan seseorang gembira
dan keburukan menjadikannya susah, maka orang tersebut dapat digolongkan
beriman.
Dengan jawaban ini semua orang bisa mengukur dirinya
sendiri. Setiap Muslim bisa tahu, apakah sekarang kondisi imannya sedang naik
atau turun. Jika berkali-kali melakukan kesalahan tetap merasa aman-aman saja,
itu indikasi iman berada di ambang bahaya. Orang yang koreksi akan segera
beristighfar, bertaubat, kemudian memperbaiki diri.
Suatu hari
mungkin saja ada perasaan berat untuk melaksanakan kebaikan. Ibadah terasa
berat, membaca al- Qur'an menjadi mudah ngantuk, sementara jika memeloti TV
tahan berjam-jam. Ketika datang waktu shalat, disambutnya dengan malas-malas.
Waktunya molor-molor hingga batas akhir. Konsentrasi jauh berkurang, persiapan
seadanya, dan waktu shalat dipersingkat. Selesai shalat terus ngeloyor pergi,
tanpa berdzikir dan shalat sunnat. Jujur saja bahwa kita semua pasti pernah
mengalaminya.
Itulah dinamika
iman. Ada saatnya pasang, ada waktunya turun. Ketika iman sedang
naik, semua kebaikan menjadi gampang dan ringan. Sebalik-nya, ketika iman
sedang surut, semua ibadah menjadi susah.
Setiap muslim diwajibkan untuk selalu mengoreksi dirinya
sendiri (self correcting). Menghisab segala amal yang dikerjakan dalam
keseharian merupakan keharusan yang tak boleh diabaikan. Rasulullah berpesan,
"Periksalah dirimu sebelum diperiksa (Allah di hari qiamat)."
Rasulullah
memberikan ukuran yang sangat sederhana, 'anda tetap tercatat sebagai mukmin
jika kebaikan menjadikan anda gampang dan keburukan menjadikan anda susah.'
Ciri mukmin adalah mencintai kebaikan dan membenci
keburukan, apapun jenisnya, berat atau ringan. Seorang muslim tentu berusaha
sekuat tenaga untuk menghindari yang haram, juga yang makruh, termasuk yang
syubghat. Bila belum nyata kehalalannya, ia tak gegabah melakukannya, sebab ada
perasaan dosa yang selalu menghantuinya. Bila tidak demikian, bisa
dipertanyakan keimanannya. Mungkin sedang turun atau malah sedang menghilang.
Santri yang kritis ini sungguh benar. Semestinya semua
pekerjaan yang mengundang kebencian Tuhan harus dihindari, sekecil apapun
perbuatan itu. Merokok adalah contoh sederhananya. Jika jelas-jelas makruh,
kenapa tetap digemari? Rasulullah bersabda: "Jangan memandang kecil
kesalahan (dosa) tetapi pandanglah kepada siapa yang kamu durhakai." (HR.
Ath-Thusi).
Seorang muslim
yang jujur dan beriman punya keistimewaan, yaitu memiliki perasaan suka-cita
bila diberi kekuatan melaksanakan kebaikan, tapi sebaliknya merasa bersalah dan
sempit dadanya bila melakukan pelanggaran. Ia memandang pelanggaran sebagai
suatu kedurhakaan dan pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karenanya bila
telanjur melakukannya, ia segera bertaubat dan berjanji tidak akan
mengulanginya. Allah berfirman: "Dan orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat kepada Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa selain Allah? Dan, mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang
mereka mengetahui." (QS. Ali Imraan:135).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar