Dalam keseharian
kehidupan kita, begitu sangat sering dan nikmatnya ketika kita bercermin. Tidak
pernah bosan barang sekalipun padahal wajah yang kita tatap itu-itu juga, aneh
bukan?! Bahkan hampir pada setiap kesempatan yang memungkinkan kita selalu
menyempatkan diri untuk bercermin. Mengapa demikian? Sebabnya kurang lebih
karena kita ingin selalu berpenampilan baik, bahkan sempurna. Kita sangat tidak
ingin berpenampilan mengecewakan, apalagi kusut dan acak-acakan tak karuan.
Sebabnya
penampilan kita adalah juga cermin pribadi kita. Orang yang necis, rapih, dan
bersih maka pribadinya lebih memungkinkan untuk bersih dan rapih pula.
Sebaliknya orang yang penampilannya kucel, kumal, dan acak-acakan maka kurang
lebih seperti itulah pribadinya.
Tentu saja penampilan yang necis dan rapih itu menjadi
kebaikan sepanjang niat dan caranya benar. Niat agar orang lain tidak terganggu
dan terkecewakan, niat agar orang lain tidak berprasangka buruk, atau juga niat
agar orang lain senang dan nyaman dengan penampilan kita.
Dan ALLOH suka
dengan penampilan yang indah dan rapih sebagaimana sabda Nabi Muhammad S.A.W ,
"Innallaha jamiilun yuhibbul jamaal", "Sesungguhnya ALLOH itu
indah dan menyukai keindahan". Yang harus dihindari adalah niat agar orang
lain terpesona, tergiur, yang berujung orang lain menjadi terkecoh, bahkan kemudian
menjadi tergelincir baik hati atau napsunya, naudzhubillah. Tapi harap
diketahui, bahwa selama ini kita baru sibuk bercermin 'topeng' belaka. Topeng
'make up', seragam, jas, dasi, sorban, atau 'asesoris' lainnya,. Sungguh, kita
baru sibuk dengan topeng, namun tanpa disadari kita sudah ditipu dan diperbudak
oleh topeng buatan sendiri. Kita sangat ingin orang lain menganggap diri ini
lebih dari kenyataan yang sebenarnya. Ingin tampak lebih pandai, lebih gagah,
lebih cantik, lebih kaya, lebih sholeh, lebih suci dan aneka kelebihan lainnya.
Yang pada akhirnya selain harus bersusah payah agar 'topeng' ini tetap melekat,
kita pun akan dilanda tegang dan was-was takut 'topeng' kita terbuka, yang
berakibat orang tahu siapa kita yang 'aslinya'. Tentu saja tindakan tersebut,
tidak sepenuhnya salah. Karena membeberkan aib diri yang telah ditutupi ALLOH
selama ini, adalah perbuatan salah. Yang terpenting adalah diri kita jangan
sampai terlena dan tertipu oleh topeng sendiri, sehingga kita tidak mengenal
diri yang sebenarnya, terkecoh oleh penampilan luar. Oleh karena itu marilah
kita jadikan saat bercermin tidak hanya 'topeng' yang kita amat-amati, tapi
yang terpenting adalah bagaimana isinya, yaitu diri kita sendiri.
Mulailah amati
wajah kita seraya bertanya, "Apakah wajah ini yang kelak akan bercahaya
bersinar indah di surga sana ataukah wajah ini yang akan hangus legam terbakar
dalam bara jahannam?"
Lalu tatap mata kita, seraya bertanya, "Apakah mata
ini yang kelak dapat menatap penuh kelezatan dan kerinduan, menatap ALLOH Yang
Mahaagung, menatap keindahan surga, menatap Rasulullah, menatap para Nabi,
menatap kekasih-kekasih ALLOH kelak? Ataukah mata ini yang akan terbeliak,
melotot, menganga, terburai, meleleh ditusuk baja membara? Akankah mata
terlibat maksiat ini akan menyelamatkan? Wahai mata apa gerangan yang kau tatap
selama ini?"
Lalu tataplah mulut ini, "Apakah mulut ini yang di
akhir hayat nanti dapat menyebut kalimat thoyibah, 'laillahailallah', ataukah
akan menjadi mulut berbusa yang akan menjulur dan di akherat akan memakan buah
zakun yang getir menghanguskan dan menghancurkan setiap usus serta menjadi
peminum lahar dan nanah? Saking terlalu banyaknya dusta, ghibah, dan fitnah
serta orang yang terluka dengan mulut kita ini!"
"Wahai
mulut apa gerangan yang kau ucapkan? Wahai mulut yang malang betapa banyak dusta
yang engkau ucapkan.
Betapa banyak hati-hati yang remuk dengan pisau kata-katamu
yang mengiris tajam? Berapa banyak kata-kata manis semanis madu palsu yang
engkau ucapkan untuk menipu beberapa orang? Betapa jarangnya engkau jujur?
Betapa jarangnya engkau menyebut nama ALLOH dengan tulus? Betapa jarangnya
engkau syahdu memohon agar ALLOH mengampuni?" Lalu tataplah diri kita
tanyalah, "Hai kamu ini anak sholeh atau anak durjana, apa saja yang telah
kamu peras dari orang tuamu selama ini dan apa yang telah engkau berikan?
Selain menyakiti, membebani, dan menyusahkannya. Tidak tahukah engkau betapa
sesungguhnya engkau adalah makhluk tiada tahu balas budi!
"Wahai
tubuh, apakah engkau yang kelak akan penuh cahaya, bersinar, bersukacita, bercengkrama
di surga atau tubuh yang akan tercabik-cabik hancur mendidih di dalam lahar
membara jahannam terasang tanpa ampun derita tiada akhir"
"Wahai tubuh, berapa banyak masiat yang engkau
lakukan? Berapa banyak orang-orang yang engkau dzhalimi dengan tubuhmu? Berapa
banyak hamba-hamba ALLOH yang lemah yang engkau tindas dengan kekuatanmu?
Berapa banyak perindu pertolonganmu yang engkau acuhkan tanpa peduli padahal engkau
mampu? Berapa pula hak-hak yang engkau napas?"
"Wahai
tubuh, seperti apa gerangan isi hatimu?Apakah tubuhmu sebagus kata-katamu atau
malah sekelam daki-daki yang melekat di tubuhmu? Apakah hatimu segagah ototmu
atau selemah atau selemah daun-daun yang mudah rontok?
Apakah hatimu
seindah penampilanmu atau malah sebusuk kotoran-kotaranmu?"
Lalu ingatlah amal-amal kita, "Hai tubuh apakah kau
ini makhluk mulia atau menjijikan, berapa banyak aib-aib nista yang engkau
sembunyikan dibalik penampilanmu ini?" "Apakah engkau ini dermawan
atau sipelit yang menyebalkan?" Berapa banyak uang yang engkau nafkahkan
dan bandingkan dengan yang engkau gunakan untuk selera rendah hawa nafsumu".
"Apakah
engkau ini sholeh atau sholehah seperti yang engkau tampakkan?
Khusukkah shalatmu, dzikirmu, doamu, .ikhlaskah engkau
lakukan semua itu?
Jujurlah hai tubuh yang malang! Ataukah menjadi makhluk
riya tukang pamer!"
Sungguh betapa beda antara yang nampak di cermin dengan apa
yang tersembunyi, betapa aku telah tertipu oleh topeng? Betapa yang kulihat
selama ini hanyalah topeng, hanyalah seonggok sampah busuk yang terbungkus
topeng-topeng duniawi"
Wahai sahabat-sahabat sekalian, sesungguhnya saat bercermin
adalah saat yang tepat agar kita dapat mengenal dan menangisi diri ini.