Ibrahim bin
Adham , seorang alim yang hidup di abad ke-8, seperti diceritakan dalam salah
satu tulisan Goenawan Moehamad, suatu saat bertawaf mengelilingi Ka'bah. Malam
gelap, hujan deras, guntur gemuruh. Ketika Ibrahim berada di depan pintu
Ka'bah, ia berdo'a, "Ya Tuhanku, lindungilah diriku dari perbuatan dosa
terhadap-Mu."
Konon, ada
suara yang menjawab, "Ya Ibrahim, kau minta pada-Ku untuk melindungimu
dari dosa, dan semua hamba-Ku juga berdo'a serupa itu. Jika Kukabulkan doa
kalian, kepada siapa gerangan nanti akan Kutunjukkan rasa belas-Ku dan kepada
siapa akan Kuberikan ampunan-Ku ?"
Kisah pendek
ini entah benar-benar terjadi atau tidak, namun kisah ini memberikan arti
panjang bagi kita dalam memandang makna sebuah dosa dan hubungannya dengan
kasih sayang Ilahi. Dosa diciptakan oleh Allah sebagaimana Dzat Yang Maha Agung
ini menciptakan pahala. Tentu saja sebagaimana ciptaan-Nya yang lain, dosa pun
memiliki peran dan hikmah tersendiri.
Dengan adanya dosa, kita jadi tahu ada yang namanya pahala.
Dalam lorong yang hitam kita bisa melihat cahaya. Dalam gelap kita jadi tahu
apa arti sebuah mentari. Walhasil, dosa memang harus kita jauhi namun juga
harus kita pikirkan keberadaannya.
Semoga dengan melihat bahwa dosa pun dapat menjadi alat
Allah untuk menunjukkan kasih sayang-Nya, kita mampu lebih memahami hadis Nabi,
"Ikutilah perbuatan jelek dengan perbuatan baik agar perbuatan baik itu
menghapusnya."
Kita percaya
bahwa ampunan Allah lebih luas dari murka-Nya. Jika Allah yang Gagah Perkasa
saja masih bersedia memaafkan hamba-Nya dan menunjukkan kasih sayang-Nya kepada
kita semua, mengapa kita tak mau memaafkan kesalahan orang lain kepada kita ?
Mengapa tak
kita serap sifat Rahman dan Rahim-Nya sebagaimana selalu kita baca dalam
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim ?
Ketika saya menghadap Kepala Sekolah sewaktu di Madrasah
Aliyah seraya meminta maaf atas prilaku jelek saya. Kepala Sekolah yang
sekarang sudah almarhum itu menjawab, "Umar bin Khattab pernah mengubur
anaknya hidup-hidup, dia bertobat dan Allah memaafkannya. Apakah kesalahan kamu
sudah lebih besar dari prilaku Umar itu sampai saya tak berkenan memaafkan kamu
?" Saya merinding mendengar jawaban itu. Saya pun masih merinding saat
mengingat betapa pemurahnya guru saya itu. Guru saya tersebut sudah mampu
menjadikan kesalahan saya sebagai alat untuk menunjukkan kasih sayangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar